Rabu, 10 Januari 2018

MENYATU DENGAN ROH-NYA

MENYATU DENGAN ROH-NYA, Majalah Bahana September 2013, Kolom Refleksi, Halaman 59, By: Benni E. Matindas (Pengajar filsafat)
Jiwa nelangsa manusia modern mendorong untuk berpaling pada agama. Para sosiolog pun menyebut fenomena masa kini sebagai era kebangkitan agama-agama. Namun, karena faktor gersangnya jiwa atau sepi bekunya batin di tengah budaya industrialism itu yang jadi pendorong dan tanpa arahan tepat, mereka berbondong-bondong lebih kepada praktik keagamaan yang kental spiritualismenya. Dan lantaran itu pula, jelaslah arah selanjutnya: mistikisme, pelbagai praktik esoterisme (sembari mengejek agama-agama samawi sebagai “Cuma esoterisme”), sampai pada pengagungan agama-agama tua dari benua timur yang dibilang Kearifan Abadi. Tentu ini bahaya serius. Tak cukup dengan hanya menuding “sesat”, sebab mereka justru yakin sedang mencapai taraf religiusitas lebih tinggi dan lebih benar. Seorang presdir perusahaan konglomerasi nasional besar, saat mulai maraknya persekutuan doa serta praise center di hotel berbintang dan gedung mewah di Jakarta dulu, dikenal sangat bersemangat memimpin salah satu para-church yang paling banyak jemaatnya pada tahun-tahun itu. Sekarang ia telah jadi pengikut tekun salah satu kelompok New Age. Seorang penyanyi pop terkenal bersama suaminya yang juga biduan sohor belum lama mengumumkan bahwa mereka meninggalkan agama Kristen, pindah ke agama yang terkenal dengan praktik esoterismenya, dengan alasan telah menemukan jalan yang lebih sempurna! Apa yang dianggap kelebihan ibadah esoterisme tak lain adalah, terutama, meditasi “menyatukan sukma dengan Sang Mahacahaya, mencapai pencerahan puncak”. Sementara agama-agama besar pun umumnya hanya sibuk mengkhotbahkan sistem dogma yang mengkerdilkan kemanusiaan. Dan tak mengedepankan etika yang hakiki. Akan tetapi, ajaran “penyatuan dengan Roh Allah” itu harus kita bereskan. Pertama-tama, memang harus dimaklumi, kiranya tak ada orang bertuhan yang cukup cerdas dan berimajinasi andal yang tak tergiring untuk membayangkan penyatuan roh kita manusia dengan Tuhan yang juga berwujud Roh itu. RIbuan tahun sejarah peradaban manusia sudah menampilkan tak terhitung aneka macam kelompok religiusitas dengan inti pengajaran begitu. Bahkan bukan tak mungkin kata religi yang berakar dari religare [: mengikatkan kembali] itu maksudnya mengikatkan insan pada Sang Sumbernya. Para rasul pada zaman gereja purba sudah disibukkan menghadapi kelompok-kelompok Gnostikisme yang sedemikian merasuk kuat bahkan sampai dalam proses perumusan isi Kitab Perjanjian Baru [-- risalah menghebohkan yang berjudul “Injil Yudas” itu tak lain adalah salah satu anasir Gnostikisme yang disingkirkan oleh para Bapak Gereja saat mengedit atau kanonisasi Injil]. Ajaran itu memang salah. Konsep “bersatu dalam Roh Allah” itu memang benar, arah hakiki iman, tetapi bukan cuma seperti praktik esoterisme yang tak lebih hanya teknologi mental. Cuma sebatas proses psikologis sesaat. Menyatu dengan Tuhan itu haruslah dijalani sebagai sepenuh kehidupan yang menuruti segenap hukum-hukum-Nya. Suatu upaya yang tak lain hanyalah tinggal mengaktualisasi diri insane yang potensinya sudah build-in sejak terciptanya setiap makhluk dalam mekanisme semesta yang berlangsung dalam hukum-hukum alam-Nya di dalam hukum kasih-karunia-Nya. Jadi kalau hidup keseharian kita penuh seleweng, bertapa atau meditasi berkonsentrasi pikiran untuk “menyatu dengan Tuhan” itu hanyalah sebatas khayal kita, sedang pribadi utuh kita tetap berada di luar struktur mekanisme keutuhan Roh Allah. Akan tetapi, juga perlu dikoreksi sistem ajaran agama-agama besar kita yang – sebagaimana dikonstatasi Max Weber hingga Clifford Geerz – sudah dirasionalkan sebegitu rupa oleh para teolog, tetapi justru sudah membuat Tuhan berjarak dari lingkup kehidupan nyata makhluk manusia. Sehingga Tuhan sering jauh terlupakan, nanti dicari kala duka. Ut omnes unum sint (Yoh.17:21), supaya semua menjadi satu: Allah dalam Anak Manusia, Anak Manusia di dalam Allah. Itulah fungsi Yesus dalam dunia dan sejarah kita manusia: mendamaikan, memulihkan kesatuan, meneladankan jalan penyatuan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar