Rabu, 19 Desember 2018

MENDIDIK UNTUK BERIMAJINASI


By: Dr. Markus Budiraharjo, Med
Dosen Magister Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Sumber: Kolom Opini, Kedaulatan Rakyat, 9 Juli 2018. Hal. 11.

Diprediksi bahwa 85% pekerjaan pada tahun 2030 belum ada saat ini. Artinya, dalam waktu 12 tahun ke depan, jenis-jenis pekerjaan tertentu akan hilang, dan jenis-jenis pekerjaan baru akan bermunculan. Pekerjaan rutin dan teknis akan tergantikan oleh aplikasi.

Tahun lalu, untuk mendapatkan tiket bioskop, kita masih terus antre. Tahun ini, dengan aplikasi dari Go-Tix, pembelian tiket menjadi lancar. Dampak positifnya, pelanggan bisa meraasakan kenyamanan. Transaksi bisa di mana saja. Dampak negatifnya, jumlah tenaga yang melayani pembelian menjadi turun. Di satu sisi, penggunaan teknologi meningkatkan pelayanan dan kemudahan. Di lain pihak peluang kerja menjadi terpangkas.

Revolusi industri 4.0 merupakan fenomena global yang secara pelan dan pasti telah menciptakan lanskap dunia kerja yang sangat berbeda. Jaringan penjualan berbasis online Amazon, misalnya, telah mengujicobakan pengiriman barang (di bawah 2 kg) dengan menggunakan drones. Untuk mengecek ketersediaan barang di gudang yang sangat besar, Wall Mart memanfaatkan drones yang akan memindai setiap bar codes, Dan mengirimkan hasilnya ke basis data. Pemindaian manual oleh tenaga manusia membutuhkan waktu minimal tiga hari kerja, dengan tingkat akurasi di bawah 90%. Dengan drones khusus, pekerjaan selesai dalam waktu tiga jam, dengan akurasi data 100%. Ada ribuan inovasi yang ditemukan, diterapkan, dan sekaligus menggusur tenaga manusia.

Tantangan
Ada begitu banyak kritik terhadap sistem dan pengelolaan pendidikan. Istilah Paulo Freire yang banyak dikutip adalah banking concept of education. Ini adalah metafora untuk menunjukkan bahwa pendidikan disederhanakan dalam penguasaan pengetahuan deklaratif.
Belajar dikatakan berhasil bila siswa mampu menguasai serangkaian pengetahuan yang dihafalkan.

Peter Tubman (2009) menyoroti model kepatuhan pada model tunggal. Analisis wacana kependidikan terhadap berbagai kebijakan pendidikan di Amerika mencerminkan fenomena kepatuhan tunggal macam ini, yang bisa dikatakan sama seperti di Indonesia. Tubman menemukan sejumlah persoalan kronis di Amerika, di antaranya: kekakuan birokrasi dalam bentuk ujian nasional, kekeliruan dalam menggunakan buku teks, kurikulum baku yang gagal tanggap zaman, dan kooptasi dunia bisnis dalam pengadaan buku teks dan soal-soal ujian.

Tantangan lain yang tidak kalah penting adalah keyakinan dasar di benak kita sendiri. Tidak sedikit dari generasi saat ini yang meyakini bahwa model pendidikan yang paling baik adalah yang saat ini sedang berlangsung. Belajar sama artinya menguasai serangkaian pengetahuan deklaratif. Belajar dikatakan berhasil bila siswa berhasil mendapatkan nilai yang tinggi. Sekalipun sistem ranking di kelas telah secara formal dihapuskan, tetap saja para orangtua membutuhkan informasi tentang posisi anaknya dibandingkan dengan anak-anak yang lain.

Teori personal mengenai konsep pendidikan macam itu sangat menentukan dalam membentuk sikap dasar terhadap belajar. Yang dinilai penting adalah pengukuran eksternal, bukan sesuatu yang secara pribadi memberikan kebermaknaan. Yang dikejar adalah pengakuan publik, bukan sesuatu yang secara internal mendewasakan. Belajar menjadi sekedar mengikuti apa yang dikatakan baik oleh orang lain, bukan sesuatu yang diolah di dalam hati.

Belajar dan Berimajinasi
Steve Wozniak, rekan kerja Steve Jobs, pendiri Apple Computer, adalah sosok penting di balik teknologi layar sentuh. Salah satu kesukaannya adalah membaca komik dan novel-novel sci-fi. Dari berbagai cerita yang dibacanya, juga kecintaan terhadap matematika dan elektronika, dia bercita-cita untuk menerjemahkan apa yang ditampilkan di kisah-kisah komik dan novel-novel tersebut ke dalam realitas.
Teknologi IPhone dan IPad adalah terobosan buah kerja keras Steve Wozniak bersama Steve Jobs. Hari ini, teknologi smartphone telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Wosniak bermimpi untuk mewujudkan apa yang diimajinasikan pada tahun 1950-an menjadi kenyataan pada hari ini.
85% pekerjaan baru dalam waktu 12 tahun ke depan menuntut tenaga kerja yang bisa berpikir dan berimajinasi. Kebiasaan belajar yang ditargetkan untuk menjawab pertanyaan guru atau soal-soal ujian saja tidak cukup. Revolusi industri 4.0 membuka peluang bagi mereka yang memiliki kebiasaan berpikir imajinatif, kreatif, dan eksploratif. Era millenial hari ini memaksa kita semua untuk meredefinisi konsep mendidik. Belajar dari para tokoh pembentuk zaman, kunci utama terletak pada literasi, atau keterampilan membaca dan memaknai pengalaman hidup. Seberapa mampu generasi kita mendampingi dan menemani generasi berikut untuk mengantisipasi tantangan zaman?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar